kemarin, saya mendapatkan
kesempatan yang cukup langka, yaitu menghadiri talkshow khusus untuk
para pimpinan penerbit se-Jateng plus para tamu undangan dari instansi terkait.
Acara yang serangkaian dengan pelantikan Pengurus Ikapi Jateng periode
2016-2021 itu menghadirkan pembicara Ibu Sri Hidayati, S.Si, M.Si dari Pusat
Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud RI dan Dr. I Ketut Astawa dari Ikapi Pusat.
Temanya sih, tentang Kurikulum 13. Tetapi, yang ingin saya sorot dari talkshow
itu adalah ucapan menarik dari Ibu Sri Hidayati.
“Sudahkah buku Anda mengandung konten berupa ketrampilan
yang wajib dimiliki di Abad 21?” Tanya Ibu Sri Hidayati yang malam itu terlihat
cantik dengan kerudung pink-nya. “Itulah 4C. Communication, Collaboration, Critical
Thinking and Problem Solving, dan Creativity and Innovation. Inilah
yang sesungguhnya ingin kita tuju dengan K-13, bukan sekadar transfer materi.
Tetapi pembentukan 4C.”
Saya terhentak mendengar pernyataan beliau. 4C, sebenarnya
kata ini tidak terlalu baru untuk saya. Di berbagai kesempatan, saya sudah
mendengar beberapa pakar menjelaskan pentingnya penguasaan 4C sebagai sarana
meraih kesuksesan, khususnya di Abad 21, abad di mana dunia berkembang dengan
sangat cepat dan dinamis. Tetapi, malam itu, saya seperti diingatkan kembali,
betapa penguasaan 4C itu super-duper-penting. 4 C adalah jenis softskill yang pada implementasi keseharian, jauuuh lebih bermanfaat ketimbang sekadar jadi jagoan dalam penguasaan hardskill.
Jadi, mari kita bahas sejenak di
blog sederhana ini.
Communication
Komunikasi, adalah salah satu kunci sukses dalam hidup ini.
Banyak sekali problem bermunculan, baik di level keluarga, masyarakat,
lingkungan kerja, kehidupan bernegara, bahkan antarnegara, ternyata berawal
dari miscommunication. Saya pernah juga mengalami problem ini ketika
berinteraksi dengan kawan lewat sebuah aplikasi chatting. Akhirnya saya
menyadari, bahwa komunikasi itu memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi verbal alias
isi atau konten, dan dimensi non verbal alias cara penyampaian. Chatting
memang bisa menjadi sarana penyampaian verbal, tetapi tidak non verbal. Misal,
kata “kamu menyebalkan!” jika disampaikan dengan gaya bergurau, plus mata
kedip-kedip, pasti akan dianggap sekadar gurauan belaka oleh orang yang kita
ajak berkomunikasi. Tetapi, jika kata itu kita sampaikan via media chatting,
bisa jadi masalah serius.
Tentu komunikasi tidak sesederhana satu paragraph yang saya
sampaikan tersebut. Komunikasi itu ilmu yang sangat luas, dan merupakan
disiplin ilmu tersendiri. Hanya saja, di abad ini, belajar bagaimana
berkomunikasi yang baik, ternyata menjadi sebuah kewajiban. So, buat kita semua
yang selalu punya problem dengan hal ini, segeralah berbenah.
Collaborative
Collaborative artinya kemampuan berkolaborasi, alias
bekerjasama, saling bersinergi, menyatukan potensi kita dengan potensi orang
lain demi tujuan tertentu. Sayangnya, alih-alih mampu bersinergi, banyak di
antara kita justru trauma bekerjasama dengan orang lain. Menurut Stephen Covey,
perkembangan kedewasaan seseorang ternyata harus menempuh 3 periodesasi, yaitu dependency,
independecy dan interdependency.
Saat kita masih lemah, kita biasanya bergantung kepada orang lain. Seiring dengan menguatnya kapasitas, kita menjadi mandiri. Apakah stop di sini? Ternyata tidak. Kita harus mampu ber-interdependency alias saling bergantung dengan orang lain dalam bentuk kolaborasi. Jadi, kolaborasi yang baik, akan terbangun dari sekumpulan orang mandiri yang menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin hidup tanpa bersinergi. Kolaborasi akan bubrah jika yang bergabung masih belum memiliki level sama. Mungkin ada yang mandiri, ada yang masih bergantung dan sebagainya.
Saat kita masih lemah, kita biasanya bergantung kepada orang lain. Seiring dengan menguatnya kapasitas, kita menjadi mandiri. Apakah stop di sini? Ternyata tidak. Kita harus mampu ber-interdependency alias saling bergantung dengan orang lain dalam bentuk kolaborasi. Jadi, kolaborasi yang baik, akan terbangun dari sekumpulan orang mandiri yang menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin hidup tanpa bersinergi. Kolaborasi akan bubrah jika yang bergabung masih belum memiliki level sama. Mungkin ada yang mandiri, ada yang masih bergantung dan sebagainya.
Critical
Thinking and Problem Solving
Saya merasa sangat sedih ketika melihat ada orang tua yang
meng-cut pikiran kritis anak dengan perkataan-perkataan yang cenderung “show
of power”. Misal, “Diam, kamu ini ngeyel!” Atau, “Kalau dibilangi itu jangan
membantah, Bapak ini lebih tahu dari kamu.”
Oke, jika maksud si ortu adalah ingin anaknya hormat kepada
orang tua, tak perlu dengan kalimat skakmat semacam itu. Sebab, kalimat-kalimat
semacam itu, apalagi ditambah dengan tekanan non verbal seperti mata melotot,
tangan menggebrak meja dan sebagainya, justru akan mematikan daya “critical
thinking” si bocah. Critical thinking adalah kemampuan untuk memahami
sebuah masalah yang rumit, mengkoneksikan informasi satu dengan informasi lain,
sehingga akhirnya muncul berbagai perspektif, dan ujung-ujungnya ketemulah
sebuah solusi dari suatu permasalahan. Orang yang cerdas, sejatinya bukan yang
nilainya selalu 100 atau A plus, tetapi yang mampu berpikir kritis dan
menemukan solusi cerdas dari berbagai problem yang dia alami.
Creativity
and Innovation
Kreativitas, menurut The Liang Gie didefinisikan sebagai
kemampuan seseorang dalam menciptakan penggabungan baru. Kreativitas akan
sangat tergantung kepada pemikiran kreatif seseorang, yakni proses budi
seseorang dalam menciptakan gagasan baru. Kreativitas yang bisa menghasilkan
penemuan-penemuan baru (dan biasanya bernilai secara ekonomis) sering disebut
sebagai inovasi.
Nah, 4C ini, disebut-sebut sebagai “jurus sakti” menaklukkan
kompetisi abad 21, di mana di abad ini, pertarungan bukan lagi berorientasi
pada aku menang dan kamu kalah, tetapi aku menang dan kamu menang. Kita unggul
bersama-sama.
Nah, sudahkah kita memiliki 4C tersebut?
Solo, 18 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar