Paulo Freire, sang kontroversial dari Brasil pernah melontarkan kritik tajam terhadap atmosfer dunia pendidikan “gaya bank” yang dianggap hanya melanggengkan kekuasaan kaum penindas terhadap sesamanya. Para siswa didik sengaja didesain untuk menjadi penurut dan anak mami. Naradidik hanya diperlakukan sebagai objek dan bukan subyek. Dalam proses belajar-mengajar, guru tidak memberikan pengertian kepada naradidik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Bak tong sampah ilmu pengetahuan, naradidik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan. Imbas dari atmosfer pembelajaran semacam itu adalah lahirnya keluaran pendidikan yang miskin kreasi dan daya cipta. Mereka hanya seperti robot yang selalu taat dan patuh pada komando “sang majikan”.
Kritik tajam Paulo Freire agaknya mengilhami banyak pemerhati dunia pendidikan dari berbagai belahan untuk mengembalikan “fitrah” peserta didik sebagai subjek pendidikan yang mesti diperlakukan secara utuh dan manusiawi sebagai manusia pembelajar yang bebas dan merdeka. Konsep Quantum Teaching yang digagas oleh Dr. Georgi Lozanov, yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Bobbi DePorter, sejatinya juga merupakan upaya untuk membebaskan siswa didik dari belenggu proses pembelajaran yang menindas. Dengan mengadopsi beberapa teori, seperti sugesti, teori otak kanan dan kiri, teori otak triune, pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik) dan pendidikan holistik, Quantum Teaching berupaya menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar